Peranan Danghyang Nirartha Dalam Kehidupan Keagamaan Di Bali

Masyarakat Bali mengenal Danghyang Nirartha sebagai tokoh pembaharu ajaran keagamaan dan  kemasyarakatan Hindu di Bali . Mengenai asal usulnya hanya disebutkan secara tersamar dalam sumber-sumber yang berkenaan dengan tokoh tersebut dan ada beberapa sumber yang menyebutkan perjalanan suci beliau di bali  , mengenai kegiatannya selama ia tinggal di Bali, cukup banyak sumber babad yang memberitakannya
. Selain itu, ada pula cerita rakyat mengenai bangunan-bangunan yang dahulu didirikan untuk memperingati peristiwa berkenaan dengan singgahnya Danghyang Niratha di tempat-tempat tertentu (Munandar 1999: 197). Danghyang Nirartha datang dari Jawa Timur ke Bali pada akhir abad ke- 15 M semasa kekuasaan Kerajaan Majapahit diambang keruntuhannya. Babad Dalem mengungkapkan bahwa pengembaraannya ke wilayah Timur Majapahit dimulai atas permintaan Danghyang Panataran (Rai Putra 1995: 33; Munandar 1999:197). Sedangkan Babad Pasek menyatakan bahwa Danghyang Nirartha adalah seorang  Brahmana dari Daha, pergi ke wilayah Majapahit ke daerah Panataran dan menemui Danghyang Panataran serta menetap di sana hingga berputra dua orang laki-laki (Sugriwa 1975: 79; Munandar 1999:197). Uraian selanjutnya mengenai kisah hidup Danghyang Nirartha, selain di dalam Babad Dalem, Babad Pasek dan Babad Ksatrya Taman Bali diuraikan secara secara khusus dalam kitab Dwijendra Tattwa. Dalam kitab itu diuraikan kehidupannya yang dimulai sejak ia bermukim di Panataran, menjadi murid Danghyang Panawaran atau disebut juga Danghyang Panataran, mengabdi pada Dalem Waturenggong, hingga ia moksa di Pura Luhur Hulu Watu (Uluwatu) (Sugriwa 1991: 61; Munandar 1999: 197). Jika nama Danghyang Panataran yang disebut dalam Babad Dalem dan Babad Pasek ialah tokoh agama tertinggi yang dihubungkan dengan Candi Panataran (mengurus dharma lpas Palah/Panataran), maka dapat diketahui pulabahwa Danghyang Nirartha dahulu bermukim cukup  lama di Kompleks Panataran. Atas anjuran Danghyang Panataran pula, maka Danghyang Nirartha meninggalkan Jawa Timur menuju Bali. Sebagai pendeta Hindu yang hidup pada saat Candi Panataran masih berfungsi, sangat mungkin Danghyang Nirartha memang tahu betul kehidupan keagamaan di kompleks Candi Panataran pada waktu itu. Dengan demikian dapat diduga bahwa pembaharuan Danghyang nirartha terhadap agama Hindu Bali berdasarkan  pada pengetahuan keagamanya pada saat di dapatkanya dipenataran
Ketika Danghyang Nirartha tiba di Bali, pada waktu itu Bali diperintah oleh Dalem Waturenggong (1460-1558 M) yang berkedudukan di Gelgel. Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong berada dalam masa kejayaannya. Dalam kitab Dwijendra Tattwa disebutkan bahwa Danghyang Nirartha sempat pula mengadakan perjalanan dan mengajarkan agama Hindu di wilayah kekuasaan Dalem Waturenggong di luar Bali, yaitu di Sasak (Lombok) dan Sumbawa (Sugriwa 1991:44-50; Munandar 1999: 198). Sementara itu, Babad Dalem menguraikan bahwa setelah tiba di pulau Bali Danghyang Nirartha berjalan menyusuri pantai selatan Pulau Bali dan di beberapa tempat membangun pura sebagai tempat pemujaan. Pura-pura yang dapat dihubungkan dengan tokoh Danghyang Nirartha di antaranya; Pura Goa lawah, Pura Tanah Lot, Pura Bukit Payung, Pura Rambut Siwi dan Pura Purancak. Selain itu, ada pula pura yang telah didirikan sebelum kedatangannya dan kemudian ditambah pelinggih atau bangunan suci oleh Danghyang Nirartha, misalnya Pura Dasar Bhuwana Gelgel dan Pura Uluwatu (Soebandi 1983: 28-29, 79-80; Munandar 1999: 199-200). Uraian Babad Dalem menyatakan bahwa Dalem Waturenggong sangat menghormati Danghyang Nirartha. Hal ini terlihat ketika Danghyang Nirartha tiba di pulau Bali, Dalem Waturenggong segera menyuruh seorang pejabat Gelgel untuk menjemputnya serta telah disediakan pula asrama (katyagan) sebagai tempat tinggal Danghyang Nirartha. Selain itu Babad Dalem juga menguraikan Dalem Waturenggong sangat memuliakan sang pendeta, terlihat pada tiap bulan purnama dan bulan mati selalu ada upacara untuk raja yang dipimpin oleh pendeta Nirartha, sehingga wibawa raja semakin tinggi, karena para dewa selalu bersemayam dengan sang raja (Agastia 1992/93: 67-68: Rai Putra 1995: 37: Munandar 1999: 201-202). Dwijendra Tattwa dan Babad Dalem dengan jelas menyatakan bahwa Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta dari Majapahit yang berkelana ke wilayah timur Jawa Timur dan akhirnya menyeberang ke Bali. Ia datang ke Bali saat Dalem Waturenggong berkuasa dan secara tidak langsung Danghyang Nirartha turut mendukung kejayaan Dalem Waturenggong dalam melaksanakan pemerintahannya. Sangat mungkin komunikasi dilakukan oleh Danghyang Nirartha yang berasal dari Majapahit dengan para pejabat Kerajaan Gelgel dilakukan dengan bahasa Jawa Kuna. Dugaan itu didasarkan pada penggunaan bahasa Jawa Kuna (kawi) dalam pertunjukkan teater tradisional Bali (Covarrubias 1972: 243-251; Munandar 1999: 202-203). Dalam hal hubungan antara Danghyang Nirartha dengan Raja Waturenggong menurut Berg dapat disamakan dengan hubungan antara Airlangga dengan Pendeta Bharada. Para pendeta itu dapat disebut sebagai “pendeta pribadi” raja yang merupakan sumber kekuatan gaib bagi raja (Berg 1974: 33; Munandar 1999: 203). Berdasarkan berbagai tinggalan arkeologi dan sumber tertulis di Bali, sebelum kedatangan Danghyang Nirartha pada paruh terakhir abad ke-15 M telah dikenal agama Hindu dan Buddha. Bukti-bukti artefak keagamaan menunjukkan bahwa agama Hindu lebih banyak dipeluk masyarakat dari pada agama Buddha. Bangunan-bangunan sucinya kebanyakan berasal dari abad ke-11-13 M, ada yang berupa candi yang dipahatkan di dinding tebing (candi Gunung Kawi, Tampak Siring), Goa Pertapaan buatan (goa Gajah, goa Garbha), ceruk-ceruk pertapaan    gunung kawi,  Candi padas Jukut Paku Candi Padas Krobokan )     
         
Share this article on:

0 komentar: